MAHASISWA, ADVOKASI, DAN PERUBAHAN
Oleh Alghiffari Aqsa[1]
Tridharma Perguruan Tinggi saat ini merupakan hal yang sangat asing di telinga ataupun hanya menjadi jargon semata. Akibatnya perguruan tinggi hanya dianggap sebagai tempat pendidikan dan penelitian, mahasiswa pun terlena dengan kegiatan pendidikan dan penelitian tersebut. Selain pendidikan dan penelitian kita sering melupakan elemen penting lainnya dalam Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat. Mandat pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi tersebut tentunya tidak hanya dijalankan oleh perguruan tinggi (baca: Rektor dan jajarannya), melainkan juga oleh mahasiswa sebagai civitas academica Pendidikan dan Pengajaran. Seberapa nyatakah pengabdian tersebut dilaksanakan? Seberapa berhasilkah mahasiswa yang menggaungkan diri sebagai agent of change?
Di tengah derasnya liberalisasi pendidikan dan gaya hidup konsumtif, mahasiswa terpojok dalam ruang kecil bernama kelas/auditorium kuliah. Sesekali mahasiswa keluar untuk seminar dan turun ke jalan untuk mengadakan aksi demonstrasi. Banyak aksi demonstrasi yang cukup besar diadakan oleh mahasiswa, namun mahasiswa cukup puas dengan berhasilnya mengadakan aksi besar tapi tidak kepada perencanaan dan goal yang ingin dicapai. Seringkali mahasiswa melompat jauh ke atas tanpa tahapan yang terencana. Dalam kesadaran awam, hal tersebut dapat dimaklumi karena mahasiswa disibukkan dengan tuntutan sistem pendidikan yang mengharuskan mahasiswa cepat lulus dan mendapatkan kerja dengan upah yang tinggi. Namun, dalam kesadaran mahasiswa yang progresif sebagaimana tema pendidikan ini, seharusnya mahasiswa mampu keluar dari keterpojokannya dan membuat suatu perubahan. Hal yang lebih ironis lagi adalah banyaknya organisasi mahasiswa yang seharusnya dapat diandalkan hanya menjadi ujung kaki tangan kepentingan politik semata atau memanfaatkan kegiatan organisasinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Berdasarkan kondisi di atas, penulis melihat mahasiswa memiliki hambatan dalam mencapai tujuan perubahan yang diinginkannya. Hambatan tersebut adalah:
INTERNAL |
EKSTERNAL |
|
|
Namun kita juga harus dapat melihat potensi dan peluang yang dimiliki oleh mahasiswa saat ini, yaitu:
POTENSI |
PELUANG |
|
|
SAATNYA MAHASISWA MELAKUKAN ADVOKASI
Pengabdian sebagai bentuk Tridharma jangan hanya dimaknai dengan kegiatan bakti sosial, memberi makan fakir miskin, konser amal, dll. Hal tersebut tentunya tetap harus dilakukan karena merupakan “aspirin” atau penghilang rasa sakit sejenak untuk masyarakat. Mahasiswa mampu melakukan lebih dari memberikan “aspirin” tersebut dan melakukan operasi besar yang menjadi penyebab rasa sakit masyarakat, mengubah struktur di masyarakat menjadi lebih adil. Operasi besar tersebut dinamakan advokasi.
Apa itu advokasi?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) advokasi berarti pembelaan. Advokasi berasal dari bahasa Ingris, to advocate yang berarti “membela” (to defend). Bisa juga berarti “menyokong”, “memajukan”, “menganjurkan”, ‘mengemukakan’ (to promote), atau juga berarti melakukan ’ perubahan’ (to change). Advokasi berarti suatu cara yang cermat, terencana, dan terorganisir untuk melakukan pembelaan ataupun mendorong suatu perubahan. Jadi tujuan dari advokasi adalah perubahan yang luas terkait kebijakan sehingga masyarakat banyak dapat merasakan manfaatnya. Hanya mengandalkan demonstrasi bukanlah advokasi. Perlu diingat advokasi bukanlah milik advokat ataupun aktivis-aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mahasiswa juga mampu melakukan advokasi. Beberapa contoh konkrit advokasi mahasiswa:
- Perjuangan membatalkan UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
Advokasi menolak UU Badan Hukum Pendidikan dimulai oleh rekan-rekan BEM UI semenjak tahun 2006. Pusgerak BEM UI melakukan kajian yang komprehensif terkait sistem pendidikan yang akan dibawa mengarah ke liberalisasi pendidikan dengan disahkannya UU BHP. Pasca pengesahan UU BHP gerakan kemudian meluas melibatkan elemen masyarakat, guru, mahasiswa, akademisi dan LSM. Rencana advokasi dirumuskan bersama dan kegiatan advokasi dilaksanakan secara terus menerus hingga Mahkamah Konstitusi membatalkan UU BHP tersebut karena Mahkamah menerima permohonan dari berbagai koalisi yang menolak UU BHP. Beberapa pemohon pembatalan adalah mahasiswa.
- Judicial Review Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi
Setelah Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP)dibatalkan, pemerintah dan DPR merasa terjadi kekosongan hukum dan membentuk undang-undang baru. Nyatanya undang-undang baru tersebut (UU N0. 12 Tahun 2012) memiliki roh yang tidak jauh berbeda dengan UU BHP, otonomi pengelolaan dan usaha melepaskan universitas dari tanggung jawab Negara tetap muncul. Komite Nasional Pendidikan, yang banyak diisi oleh mahasiswa (BEM UI, FMN, SMI, BEM UNJ, Pembebasan, dll), bersama jaringan NGO, buruh, dan guru melakukan berbagai penolakan. Puncaknya mahasiswa dan jaringan kembali melakukan Judicial Review, seperti yang dilakukan terhadap UU BHP. Saat ini sedang menunggu putusan Mahkamah Konstitusi.
- Penolakan Penggusuran Pedagang di Stasiun Kereta Jabodetabek
Diakhir Desember 2012 hingga Juni 2013, mahasiswa UI banyak terlibat dalam pembelaan para pedagang stasiun Jabodetabek. Sebanyak 1600 pedagang kehilangan mata pencaharian karena digusur oleh PT. Kereta Api Indonesia dengan alasan perbaikan stasiun dan peningkatan kenyamanan penumpang. Mahasiswa melakukan pembelaan karena PT. KAI melakukan penggusuran tanpa melakukan dialog dan tidak memiliki solusi alternatif untuk pedagang, padahal pedagang bersedia ditata dan memiliki konsep alternatif. Mahasiswa melakukan riset, pengorganisiran, kampanye, audiensi ke lembaga-lembaga terkait, dan bahkan aksi menghalangi penggusuran yang mengakibatkan beberapa orang mahasiswa terluka.
Ada banyak advokasi yang menurut hemat penulis dapat dilakukan oleh mahasiswa Indonesia saat ini, diantaranya:
- Akses pendidikan dan demokratisasi di tingkat kampus.
- Kasus Korupsi.
- Privatisasi Air di Indonesia, khususnya Jakarta yang berpotensi merugikan keuangan negara sebesar 18 Triliun rupiah.
- Berbagai kasus konsumen, lingkungan, kasus petani, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, akses masyarakat miskin terhadap pelayanan publik, dll
- Dll (hampir seluruh isu public dapat diadvokasi oleh mahasiswa. Mahasiswa harus mampu menemukan sendiri hal yang akan diadvokasinya).
Mahasiswa Indonesia tidak hanya dapat terlibat dalam advokasi publik secara umum, tapi juga dapat terlibat dalam advokasi yang spesifik seperti yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat. Bahkan mahasiswa dapat membuat organisasi yang fokus dan professional layaknya Lembaga Swadaya Masyarakat. Misalnya organisasi yang berada di Columbia Law School sebagai berikut:[3]
- The Society for Immigrant and Refugee Rights
- Empowering Women of Color
- Law Student for Reproductive Justive
- Mentoring Youth through Legal Education
- Workers Rights Student Coalition
- Unemployment Action Center
- Tenants Right Project
- Public Interest Law Foundation
- Student Animal Legal Defense Fund
Jika mayoritas mahasiswa dapat menyadari pentingnya perannya dan terlibat dalam advokasi kasus atau kepentingan public, maka perubahan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih. Mohon maaf atas kekurangan.
= ORANG HEBAT ITU HARUS BERMANFAAT =
[1] Penulis adalah Kepala Bidang Pengembangan Sumber Daya Hukum Masyarakat LBH Jakarta. Tulisan singkat ini merupakan modifikasi tulisan penulis sebelumnya, disesuaikan dan disampaikan pada Sekolah Kepemimpinan dan Pengabdian (SKIP) BEM FHUI pada 12 Oktober 2012.
Tinggalkan komentar